Selasa, 19 Februari 2008

Ketika KAMMI dikatakan "anak PKS"

Jangan heran kalo saya membuat judul tulisan seperti di atas, saya ingin kembali (lagi) menjelaskan kepada publik tentang pergerakan KAMMI agar tidak ada lagi yang mengatakan kalo gerakan KAMMI di becking oleh partai politik.

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia atau lebih keren disebut KAMMI, merupakan sebuah gerakan mahasiswa yang lahir dalam situasi gejolak kebangsaan yang sedang memanas, tepatnya pada tanggal 28 Maret 1998. KAMMI lahir bukan atas dasar kekuasaan, tetapi lebih pada keinginan menempatkan diri sebagai mahasiswa yang peduli pada kondisi kebangsaan.

Partai Keadilan Sejahtera lahir belakangan, saya tidak tahu kapan tepatnya partai tersebut lahir, tetapi ia memang telah ada dan ikut berlaga ketika Pemilu tahun 1999, dan ketika itu namanya masih Partai Keadilan.

Kenapa banyak orang yang mengatakan bahwa KAMMI itu ya PKS, dan PKS itu ya KAMMI? Setelah saya telusuri, barulah saya mengerti dan mencoba menganalisis…

KAMMI merupakan sebuah gerakan mahasiswa yang berbasis dakwah dan sosial politik, atau bisa pula disebut sebagai organisasi mahasiswa profetik, KAMMI secara struktural dan pergerakan, tidak ada bedanya dengan organisasi mahasiswa yang lain seperti BEM, HMI, namun berstatus sebagai organisasi mahasiswa ekstern. Sedangkan PKS merupakan sebuah partai politik Islam yang berbasis dakwah, dan sebenarnya tidak berbeda dengan partai-partai Islam yang lain. Jika KAMMI dikatakan ”anak” PKS, mungkin saja karena melihat sisi kedekatannya, atau bahkan melihat adanya organisasi mahasiswa yang memang betul-betul di-becking oleh parpol, seperti Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang merupakan background dari Nahdatul Ulama (NU), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang juga merupakan background dari Muhammadiyah, atau yang lain..(afwan...pengetahuan saya masih terbatas tentang organisasi mahasiswa).

Satu hal yang ingin saya tegaskan (karena saya juga orang KAMMI), bahwa KAMMI merupakan organisasi mahasiswa yang independen, dan bukan background dari partai manapun termasuk PKS.

Memang ada kedekatan antara kader KAMMI dan PKS, tetapi hal itu tidak ada unsur politik, namun lebih pada adanya persamaan visi dan misi antara KAMMI dan PKS, meski tidak bisa dipungkiri bahwa kader KAMMI ya simpatisan atau kader PKS, namun tidak semua kader PKS merupakan kader KAMMI. Visi yang sejalan dan seiring, membentuk seorang pemimpin yang berakhlaq Islami, mampu memimpin seperti layaknya seorang pemimpin Islam (baca : khalifah). Selain itu pula, pembinaan kader (baca : kaderisasi) dalam tubuh KAMMI dan PKS memang sama, tarbiyah, pembinaan intensif seorang kader yang sering dilakukan tiap pekan.

Apa yang saya uraikan diatas tidak bisa dijadikan dasar atau landasan untuk mengatakan bahwa KAMMI adalah PKS, karena secara pergerakan, jelas ada perbedaan tingkatan antara KAMMI dan PKS, PKS yang merupakan partai politik, tentu saja lebih banyak bergerak di pemerintahan, sedangkan KAMMI lebih berfokus pada lingkungan kampus dan sosial politik pemerintahan. Kebijaksanaan apapun yang dikeluarkan oleh KAMMI merupakan hasil penggodokan internal KAMMI dan tidak ada campur tangan apalgi intervensi dari pihak manapun atau partai apapun termasuk PKS. KAMMI pun bebas bersuara, bebas dalam bergerak. KAMMI akan bertindak ketika ada penyimpangan yang terjadi terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tentunya dengan cara yang syar’i, dan bahkan KAMMI akan tetap melakukan penyikapan dan tindakan jika penyimpangan dan penyelewengan tersebut dilakukan oleh PKS.

Masih belum puas dengan yang saya paparkan? Ya itu sih tergantung individu masing-masing, sekali lagi ingin saya tegaskan bahwa KAMMI bersifat independen, KAMMI bukan organisasi yang di-becking oleh partai manapun. Adanya kedekatan dan kelengketan antara KAMMI dan PKS, itu tidak mengandung unsur politis, tetapi hanya karena persamaan prinsip yang dipegang teguh oleh KAMMI dan PKS.

Silahkan lebih lengkap baca filosofi gerakan KAMMI dan kredo gerakannnya di www.kammi.or.id


Soeharto "Putih diatas Hitam"

Tanggal 27 Januari 2008, Indonesia dikejutkan dengan kabar duka, mantan Presiden ke-2 Republik Indonesia, HM. Soeharto, meninggal dunia setelah sempat dirawat selama hampir 24 hari di rumah sakit dengan ditangani oleh sekitar 40 orang dokter spesialis terbaik Indonesia. Dan Indonesia terhenyak karena kehilangan seorang yang dianggap telah berjasa banyak pada negeri ini.

Namun, menjelang akhir hayatnya, Soeharto ternyata tidak bisa ”beristirahat” dengan tenang, diluar alam sadarnya, ribuan orang masih menuntut pertanggungjawabannya atas berbagai kasus pelanggaran hukum yang dilakukannya, meski tidak sedikit pula yang mendoakan agar Soeharto diberi kesembuhan. kontroversi pun tidak bisa dielakkan, sebagian meminta agar kasus Soeharto ditutup saja mengingat kondisi Soeharto yang sakit parah, namun sebagian masih menghendaki agar Soeharto, bagaimanapun keadaannya, harus tetap diseret ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena dianggap bahwa kesalahannya tidak bisa diampuni.

Dibalik kontroversi tersebut, sejenak kita membuka lembaran sejarah, dimana sejarah Indonesia telah mencatat betapa besar jasa-jasa seorang Soeharto, baik sebelum ia menduduki tahta kekuasaaan maupun saat masih memegang tampuk kekuasaan politik di Indonesia. Tanggal 1 Maret 1948, terjadi serangan umum yang dilancarkan tentara Indonesia untuk menduduki wilayah Yogyakarta yang dipimpin oleh Letkol Soeharto yang akhirnya membawa kemenangan di pihak Indonesia. Begitu pula saat terjadi pemberontakan G/30/S/PKI, Soeharto kembali tampil dan ditunjuk untuk menangani masalah tersebut. Sejak saat itulah karir Soeharto menanjak dan popularitasnya pun mengalahkan Presiden Soekarno pada saat itu, sampai akhirnya Soeharto berhasil mengambil alih kekuasaan Indonesia sejak terbitnya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) tahun 1967. Sejak saat itulah, Soeharto dianggap banyak membawa perubahan besar bagi Indonesia dengan trilogi pembangunan-nya, yaitu stabilitas pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan. Tahun 1984 Soeharto berhasil dengan program pangannya, Swasembada Pangan, dimana saat itu Indonesia mampu mengekspor beras ke luar negeri. Dan memang tak bisa dipungkiri, Soeharto memang sukses dengan kepemimpinannya.

Namun, dibalik itu semua, dibalik catatan putih seorang Soeharto, ada pula catatan hitam yang mengiringi kepemimpinanya,budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) lahir darinya, tidak hanya itu, Soeharto juga dianggap sebagai ”pembunuh berdarah dingin” ketika terjadi sejumlah pelanggaran HAM di Indonesia, mulai dari kasus Tanjung Priok sampai detik-detik menjelang reformasi, dan sampai akhir hayatnya, hal ini belum terungkap dengan jelas. Paham kapitalisme dan militerisme menjadi dasar pemerintahan Soeharto hingga ia mampu mempertahankan kekuasaannya hingga mencapai 32 tahun. Tetapi, akhirnya Soeharto harus bertekuk lutut dan menyatakan berhenti menjadi pemimpin Indonesia ketika ribuan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menuntut mundurnya sang Jenderal dari kursi kepresidenan.

Dan kini, ketika Soeharto telah wafat, dan tentunya kita sebagai bangsa Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang bermoral, dibalik kelamnya kehidupan Soeharto, harus tetap bisa menghargai segala bentuk jasa-jasa seorang Soeharto dan memaafkan segala kesalahan beliau namun tanpa melupakan bahwa bagaimanapun kondisinya, supremasi hukum harus tetap ditegakkan karena Indonesia adalah negara berlandaskan hukum.

Revitalisasi paradigma mahasiswa Kalsel untuk Banua

Seperti apa sich sebenarnya potret mahasiswa kalsel saat ini? Menjawab pertanyaan ini maka kita harus melihat dari berbagai sisi.

Pertama, dari sisi moral, mahasiswa kalsel baik-baik saja, mahasiswa kalsel adalah layaknya mahasiswa yang lain di daerah lain, tidak ada mahasiswa kalsel yang terkena kasus kriminalitas. Moralitas mahasiswa kalsel masih standar, jika dilihat dari segi sosialnya, tetapi lain lagi ceritanya jika dilihat dari segi agama, karena tiu merupakan hak individu.

Kedua, jika dilihat dari sisi intelektualitasnya, mahasiswa kalsel tidak kalah dengan mahasiswa dari luar seperti Jogja misalnya, tingkat pengetahuan dan wawasan yang dimiliki mahasiswa kalsel saat ini semakin ditingkatkan dengan berbagai fasilitas yang ada di tiap kampus atau universitas. Artinya, intelektualitas mereka sudah lumayan.

Ketiga, jika dilihat dari sisi pergerakan dan pemahaman akan peran sebagai mahasiswa, ini yang patut dipertanyakan. Seperti apakah gerakan mahasiswa kalsel sekarang? Sudahkah mahasiswa kalsel memahami perannya sebagai mahasiswa? Tanpa perlu bertanya langsung pada objeknya, sudah dapat dilihat seperti apa mahasiswa kalsel hari ini. Diantara sekian banyak mahasiswa, masih banyak yang berpikir bahwa status mahasiswa-nya hanyalah sebuah identitas individu, yang tugasnya belajar, kuliah minimal 3,5 tahun dan lulus dengan hasil cumclaude, serta berharap menjadi pekerja kantoran atau paling tidak PNS. Itulah impian terbesar mahasiswa kalsel, tidak salah memang, namun status mahasiswa bukan hanya dalam arti sempit seperti itu, mahasiswa adalah sekelompok individu yang harusnya berjiwa kritis dan berpikir strategis, mereka perlu banyak bergerak, khususnya untuk membangun Banua, Kalimantan Selatan. Dan hari ini peran mereka sangat dibutuhkan, Kalsel memang tidak banyak bermasalah jika melihat secara sepintas. Tetapi jika dilihat secara detail, lihatlah...masalah batu bara, penambakan hutan liar, kebakaran hutan, limbah sungai, dan lain-lain. Memang sudah ada pihak-pihak terkait yang akan menyelesaikannya, tetapi ternyata sampai sekarang masih belum kelihatan hasilnya kan?

Untuk itulah, kita sebagai mahasiswa harus lebih membuka mata dan telinga kita, peran kita bukan hanya dikampus dan membangun kampus. Tetapi lebih dari itu, Melihat sebenarnya begitu besar potensi yang dimiliki oleh Kalsel terutama SDA-nya, maka harus ada orang-orang yang professional untuk mengolahnya. Namun kenyataannya tidak banyak anak Banua yang paham akan hal itu, apalagi mahasiswa. Sementara di daerah yang lain, mahasiswa-nya adalah orang-orang yang peduli, kesadaran mereka tumbuh karena mampu memahami peran mereka sebagai mahasiswa. Lihat bagaimana reaksi mahasiswa atas kasus Lumpur Panas di Sidoarjo, lihat pula bagaimana kepedulian mereka ketika terjadi kebakaran hutan, penambangan liar, pengerukan tambang yang habis-habisan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan kita? Tentunya kita sudah tahu bagaimana kasus Batu bara di kalsel yang ila tidak diawasi bagaimana pengerukannya, maka habislah sumber daya alam tambang yang sangat dibanggakan oleh Kalsel. Belum lagi transportasi batu bara yang selalu meresahkan masyarakat, dan masih banyak lagi, maka pertanyaannya lagi, sudah sebesar apa tingkat kepedulian kita? Terkadang kita hanya marah, kesal tapi tidak mau berbuat sesuatu untuk merubahnya, padahal mahasiswa adalah Agent of Change!

Paradigma para mahasiswa seperti yang disinggung sebelumnya memang perlu diubah dan diarahkan, peran mahasiswa sangatlah strategis, di tangan mereka lah nasib Banua ini akan dipertaruhkan. Dan bukan berarti di masa-masa berstatus mahasiswa, mahasiswa tidak bisa bergerak untuk Banua, banyak sekali wadah dan sarana yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk itu, utamanya dengan mengikuti organisasi, lebih-lebih yang bergerak ekstern kampus, karena biasanya organisasi ekstern itu lebih bisa mengasah kemampuan berpikir yang kritis dan logis.

Peran mahasiswa untuk membangun Banua harus ada, karena itulah kenapa perlu sebuah revitalisasi peran mahasiswa, dan tentunya ini harus dilakukan dua arah, kesempatan dari pemerintah untuk mahasiswa dan yang pasti paradigma mahasiswa itu sendiri yang harus memahami perannya dan dapat memanfaatkan potensi yang telah dimilikinya untuk membangun Banua, dan itu memang tidak mudah. Kultur yang melekat di mahasiswa (kuliah-kost-kantin) ditambah dengan jiwa hiburan, sifat hedonis-nya hari ini memang menjadi faktor utama kenapa mahasiswa Kalsel tidak terlalu berkembang. Budaya diskusi sangat jarang terlihat, apalagi untuk melihat seperti apakah situasi Banua saat ini, paling banter, pas ada yang mau konser di Banua, langsung sensitif dan agresif-lah mahasiswa kita ini. Memang kata sebagian orang, kultur masyarakat Kalsel memang seperti itu, mereka terlalu sulit untuk menerima dan menjadi seorang idealis, tetapi seharusnya peran mahasiswa sebagai individu yang intelek mampu menghindari semua itu, mereka yang seharusnya mengubah paradigma masyarakat yang sepertinya sudah mendarah daging tersebut.

Untuk itulah, para mahasiswa kalsel, bangun dari tidur yang panjang. Urusan Banua bukan Cuma milik Gubenur atau walikota, tetapi juga urusan kita mahasiswa sebagai kelompok yang intelek, kita juga adalah wakil rakyat yang nonformal. Kita lah yang menjadi tumpuan harapan ketika terjadi krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Paradigma kita sebagai mahasiswa kalsel harus berkembang dan terarah agar kita memahami peran strategis seorang mahasiswa kalsel untuk membangun Banua.